berdamai dengan pandemi, dan diri sendiri




Selama beberapa bulan belakangan, seluruh dunia rasanya seperti melambat karena pandemi Covid-19. Sekolah harus terhenti, pegawai kantoran diwajibkan bekerja dari rumah, pusat perbelanjaan dan tempat wisata harus tutup, tidak ada lagi taman kota yang terlihat ramai di akhir pekan, tidak ada lagi restoran yang membuka dine-in secara penuh. Seketika keluar rumah saja terasa tidak aman.

---



Banyak hal harus dikorbankan demi kebaikan bersama. Para lulusan sekolah menengah maupun perguruan tinggi tidak bisa mengadakan wisuda. Beberapa perusahaan memutuskan mengurangi pegawai agar bisnis mereka dapat tetap berjalan. Beberapa bisnis lain bahkan harus rela gulung tikar sepenuhnya.

"Rasanya gue udah mau gila dirumah aja." - kata salah seorang teman via chat. Saya pun merasa demikian. Satu bulan pertama, work from home terasa lebih produktif, kehidupan pribadi dan profesional terasa lebih seimbang. Bulan-bulan berikutnya, pekerjaan mulai terasa lebih menumpuk ketimbang di kantor, jam kerja 9-5 tidak lagi berlaku, concall (dianggap) bisa dilakukan 24 jam.

Akhirnya, setelah berbulan-bulan self-quarantine di rumah, kita mulai merindukan banyak hal yang sebenarnya biasa saja. Karena kini kita tahu, seberapa sering kita take everything for granted.

Saat ini, aktivitas #newnormal sudah mulai diberlakukan. Kegiatan sehari-hari yang tadinya harus terhenti, kini sudah dapat dimulai kembali dengan banyak aturan tambahan. Beraktivitas tidak pernah terasa sama seperti dulu. Memakai masker kemana-mana dan sering mencuci tangan adalah mandatory. Tiba-tiba, hidup jadi lebih banyak aturan.

Satu bulan lalu, ketika aturan PSBB di Jakarta sudah selesai, saya mulai kembali bekerja di kantor dengan jadwal baru. Rasanya sungguh beruntung karena saya masih memiliki pekerjaan di masa sulit seperti ini. Beberapa teman bahkan sudah lama kehilangan pekerjaan mereka sebagai dampak dari pandemi.

Meskipun sudah masuk ke pertengahan tahun 2020, rasanya keadaan belum membaik. Entah apa yang diinginkan semesta, tapi sepertinya manusia perlu sesekali berhenti berlari dan melihat keadaan sekitar. Kalau tidak ada si Rona, mungkin kita tidak akan pernah terbiasa hidup dengan kedisiplinan dan higienitas tinggi.

Mungkin, ini adalah cara bumi memberitahu, bahwa ia sudah terlalu lelah dan butuh istirahat.

Mungkin, ini adalah cara langit berbicara, bahwa manusia terkadang perlu menoleh ke belakang untuk belajar dari sejarah.

Mungkin, pada akhirnya kita semua akan memahami, betapa mahalnya hidup dengan rasa aman.

Semoga, ketika pandemi ini berakhir, kita akan jadi manusia yang lebih bersyukur.

Semoga, ketika pada akhirnya kita sudah bisa hidup dengan bebas, kita dapat lebih menghargai kebebasan tersebut.

Semoga, kita tidak lagi menjadi manusia yang gegabah agar generasi selanjutnya tidak perlu mengalami hal yang serupa seperti ini lagi.

Pada akhirnya kita hanya bisa menanti, memberi bumi ini lebih banyak waktu, sembari tetap menjaga dan introspeksi diri.

Untuk saat ini, yah, 'berdamai' dengan si Rona mungkin adalah hal yang semestinya dilakukan. Namun, bukan berarti kita menyerah pada keadaan. Akan ada hari dimana kita akan dapat beraktivitas seperti semula, berjabat tangan dan memberi pelukan dengan rasa aman.

Mungkin esok, mungkin tak lama lagi.

Ketika hari itu datang, generasi kita akan lebih siap menerimanya. Semoga.




Comments

Popular Posts