Book Review: Pride and Prejudice, Antara Keangkuhan dan Prasangka


Ah, dari judulnya saja Anda mungkin sudah tahu – atau setidaknya pernah mendengar, film klasik yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama. Ya, Pride and Prejudice adalah salah satu novel sastra klasik paling terkenal sepanjang masa karya seorang novelis Inggris, Jane Austen. Bahkan bisa juga dibilang bahwa novel tersebut yang melambungkan namanya dalam dunia kesusastraan Inggris. Novel ini merupakan salah satu novel sastra klasik kesukaan saya. Saya membaca versi Bahasa Indonesianya yang diterjemahkan dari The Project Gutenberg EBook of Pride and Prejudice dan diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Bukuné. Meskipun sudah terjemahan, masih agak berat, memang. Tetapi versi terjemahan ini dapat saya rekomendasikan karena pemilihan kata yang lebih mudah dimengerti, sehingga lebih enak dibaca. Kali ini, saya hanya akan membahas lebih dalam dari versi novelnya saja, untuk versi filmnya, semoga bisa saya lakukan di postingan yang berikutnya ya, hehe.

Pride and Prejudice Indonesian Version by Bukuné (Source: prelo.co.id)

Naskah awal novel ini sebenarnya sudah ditulis sejak tahun 1796 dengan judul First Impression, namun akhirnya baru berhasil dipublikasikan pada tahun 1813 dengan judul Pride and Prejudice. Dikisahkan dalam novel ini, sebuah keluarga kelas menengah yang tinggal di Longbourn, Inggris, hidup bersama dengan kelima anak perempuannya yang dalam semua usianya sudah siap untuk menikah (menurut pandangan jaman itu). Kelima anak perempuan itu adalah Jane, Elizabeth, Mary, Kitty, dan Lydia Bennet. Mrs. Bennet, ibu mereka, adalah seorang wanita yang tujuan hidupnya hanyalah untuk menikahkan semua anak perempuannya dengan pria kaya raya karena takut kalau suaminya meninggal, kelima anak perempuannya tidak akan memiliki harta warisan yang cukup untuk hidup mereka selanjutnya.

First Edition of Pride and Prejudice (Source: Wikipedia)
Sebenarnya dalam novel ini, Jane Austen berfokus pada kisah cinta kedua tokoh utamanya, yaitu Elizabeth Bennet dan Mr. Fitzwilliam Darcy. Cerita ini berawal ketika ada seorang lelaki bangsawan kaya raya yang baru saja pindah ke kota mereka dan membeli rumah mewah di kawasan Netherfield. Nama lelaki itu adalah Mr. Charles Bingley, yang tidak hanya datang sendirian, yakni bersama saudarinya Caroline Bingley dan sahabatnya Mr. Darcy. Sebagai orang terkaya di daerah itu, Mr. Bingley mengadakan sebuah pesta dansa dan mengundang banyak orang, termasuk keluarga Bennet – yang telah mengincar dirinya untuk menjadikannya menantu. Di pesta dansa itulah diceritakan pertemuan pertama Mr. Darcy dan Elizabeth Bennet.
Harus saya akui, Jane Austen menggambarkan sosok Mr. Bingley dan Mr. Darcy dengan sangat ciamik. Ia menulis begitu detil mengenai karakter kedua pria itu, sehingga akan mudah bagi pembaca (terutama para pembaca wanita) untuk langsung membayangkan sosok pria ideal yang memang biasanya diidam-idamkan wanita. Kedua lelaki itu bersahabat, tetapi karakter keduanya sangat bertolak belakang. Mr. Bingley digambarkan sebagai pria kaya raya yang tampan, sopan, baik hati, periang, selalu menghargai orang lain, dan tidak pernah memandang terlalu penting status sosial yang dimiliki orang-orang – kalau saya membayangkannya sebagai sosok pria yang too perfect, alias sulit ditemukan di jaman sekarang ini hehehe. Sementara, Austen menggambarkan sosok Mr. Darcy sebagai “pria yang dengan segera mendapatkan perhatian seluruh isi ruangan” dikarenakan sosoknya yang rapi, bertubuh jangkung, berwajah tampan, dengan raut muka bangsawan, dan juga sangat kaya raya dengan penghasilan sepuluh ribu Poundsterling setahun. Austen bahkan juga menulis bahwa Mr. Darcy diakui oleh para pria yang ada disana sebagai sosok ideal seorang laki-laki, dan setiap wanita menganggapnya lebih menawan daripada Mr. Bingley. Namun semua kesan pertama mengenai Mr. Darcy sirna ketika ia mulai berinteraksi dengan orang-orang di pesta itu. Ia adalah pria sombong yang sangat ingin diakui kekayaannya, status sosial sangat penting baginya, dan karena hal itu, ia juga merasa bahwa tidak ada wanita yang cukup memikat hatinya untuk pantas berdansa dengannya di pesta itu.

"Selama separuh malam itu Tuan Darcy menjadi pusat perhatian semua yang ada di ruangan, sampai kemudian perilakunya yang memuakkan memutarbalikkan ketenarannya. Dia sangat membanggakan perusahaannya dan ingin dipuji, bahkan cerita tentang pemukiman luas miliknya di Derbyshire tak membuat teman-temannya menutupi raut wajah tak suka, enggan, dan meremehkan." - Jane Austen, Pride and Prejudice hal.11 (versi Bukuné).

Singkatnya, jelas menurut pandangan saya kalau Austen mencoba memaparkan bahwa Mr. Bingley adalah “good guy” yang nyaris sempurna, sementara Mr. Darcy adalah “bad guy” yang penuh kharisma dan tidak perlu terlalu berusaha untuk tebar pesona, namun para wanita sudah jatuh hati padanya. Elizabeth Bennet sendiri diceritakan sebagai sosok perempuan muda yang periang, mandiri, tegas, cerdas, dan sederhana. Kesan pertama yang ia dapat mengenai Mr. Darcy sama seperti yang lainnya – tampan, kaya, namun tidak menyenangkan dan tentu saja bukan tipenya.

"...dan aku dapat dengan mudah memaafkan kebanggaan berlebihan pria itu, seandainya dia tidak mempermalukan harga diriku." - Elizabeth Bennet tentang Mr. Darcy, Pride and Prejudice hal.22 (versi Bukuné).

Nah, mungkin Anda sudah dapat menerka apa yang terjadi selanjutnya. Berawal dari ketidaktertarikan dan saling membenci karena prasangka akan satu sama lain, namun Elizabeth dan Mr. Darcy akhirnya menemukan bahwa mereka saling jatuh cinta. Kisah ini adalah kisah cinta yang bisa dibilang agak mainstream untuk jaman sekarang ini. Kita akan dengan mudah menemukan jenis cerita seperti ini di dalam film-film roman picisan, buku-buku novel, atau bahkan dalam drama korea sekalipun. Oh, jangan berprasangka bahwa saya menganggap karya Austen yang satu ini adalah ‘karya picisan’, justru saya adalah salah satu ‘pemuja’ karya-karya Jane Austen. Bagi saya, novel Pride and Prejudice ini adalah tulisan yang berani yang ditulis oleh novelis perempuan pada jaman itu. Karya Austen ini banyak menginspirasi cerita-cerita roman di jaman berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya…sehingga pada akhirnya berkembang seiring berjalannya waktu. Selain itu, novel ini juga tidak melulu berpusat pada romansa saja, melainkan kritik pada masalah-masalah sosial yang terjadi di era Jane Austen hidup. Ia dengan gamblang menggambarkan bahwa pada era itu status sosial seseorang sangatlah penting, bahkan bangsawan juga masih terbagi kelasnya – hal yang juga masih terjadi hingga saat ini. Salah satu pesan moral yang saya sukai dari novel ini tentunya adalah bagaimana sifat dasar manusia yang selalu membuat prasangka mengenai seseorang, bahkan sebelum mengenal orang tersebut lebih dalam. Or, we can say that “judging a book by its cover” seems to be easier than trying to read it.
Kalau Anda ingin membaca novel ini dari versi Bahasa Inggrisnya, penerbit luar mana saja sama, karena mereka semua menggunakan versi asli dari cetakan pertama novel Pride and Prejudice ini. Saya bisa menyarankan untuk membaca dari ketiga penerbit ini: Wordsworth Classics, Collins Classics, dan Penguin Classics. Isi ketiganya tentu sama saja, yang membedakan hanya cover dan desain bukunya. Kalau saya sendiri lebih suka terbitan dari Wordsworh Classics karena jenis tulisannya lebih enak dibaca, covernya lebih menarik, dan di dalamnya terdapat beberapa gambar ilustrasi cerita dari novel sehingga tidak memberi kesan monoton yang membuat pembaca bosan.

Wordsworth Classics Version (Source: Amazon.com)
Penguin Classics Version (Source: penguin.com.au)

Collins Classics Version (Source: Amazon.com)

Kebanyakan orang mengatakan bahwa membaca novel sastra sangat melelahkan, membosankan, dan sangat kaku. Tetapi bagi saya, disitulah letak seninya. Saya tidak selalu membaca dari versi Bahasa Inggrisnya, terkadang saya juga tergoda untuk memilih versi terjemahan Bahasa Indonesianya saja agar lebih mudah dipahami. Membaca versi Bahasa Inggris untuk novel sastra klasik seperti ini memang agak effort, karena Bahasa Inggris yang digunakan juga tidak sama dengan percakapan Bahasa Inggris yang ada di novel-novel jaman sekarang. Terkadang sambil membaca harus membuka kamus atau googling, atau bahkan ada beberapa vocabulary yang tidak ada di dalam kamus biasa karena Bahasa Inggris yang digunakan masih Bahasa Inggris lama (campuran Anglo-Saxon). Tetapi bagi saya tidak masalah apakah Anda lebih suka membaca versi Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris pada novel sastra klasik, karena semua bermakna sama.
Pride and Prejudice ini tentunya bukan satu-satunya novel yang ditulis oleh Jane Austen selama ia hidup. Ia telah menulis lima novel lainnya yaitu Sense and Sensibility (1811), Mansfield Park (1814), Emma (1815), Persuasion (1817), dan Northanger Abbey (1817). Saya belum membaca semuanya, tetapi saya tahu bahwa Pride and Prejudice akan tetap jadi favorit saya.

“A lady’s imagination is very rapid. It jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment.” – Mr. Darcy (Pride and Prejudice, Jane Austen)

Sumber:
janeausten.wikia.com
www.janeausten.org

Comments

Popular Posts