Sebuah Pertanyaan, Mimpi, dan Krisis Identitas
Pertanyaan itu membuatku diam beberapa saat. Bingung harus menjawab apa.
Aku diam saja menatap layar ponselku, lalu mengabaikan pertanyaan itu.
Sejak kecil, cita-citaku silih berganti. Kadang aku menjawab ingin menjadi guru, dokter, penulis, jurnalis, hingga pramugari. Entah sejak kapan, aku berhenti memikirkan terlalu keras kelak jadi apa aku nantinya.
Saat masih SD, aku tergolong murid yang biasa-biasa saja.
Dan aku menyukainya, menjadi biasa saja. Tidak menonjol, tidak mencuri perhatian, bukan spotlight, bukan tipe murid yang akan diingat oleh guru. Nilaiku selalu aman-aman saja, dan para guru sepertinya menganggapku....biasa saja.
Hingga ketika aku masuk SMP dan SMA, rasanya tingkat percaya diriku mulai bertambah, aku mulai menjadi ambisius. Tapi kalau aku mengingat kembali semuanya, rasanya aku hanyalah anak ABG yang sebenarnya hanya butuh pengakuan. Bahwa aku mampu, bahwa aku juga bisa, bahwa ternyata aku juga senang berada di bawah spotlight.
Menulis, adalah hal yang selalu kuanggap sebagai kelebihanku. Sebuah nilai plus dan skill yang aku miliki dan selalu aku banggakan. Apapun kulakukan untuk memperdalam ilmu tata bahasa, menulis lebih banyak tentang berbagai isu, semuanya untuk mempercantik resume ku ketika kuliah.
Apakah sekarang aku bekerja sebagai penulis? Tidak.
Apakah aku pernah bekerja sebagai jurnalis? Tidak.
Sungguh sebuah dilema untuk menyebut diriku seorang penulis, tetapi tidak pernah menghasilkan karya apapun. Sementara sebagai blogger pun aku bukan blogger terkenal. Pertanyaan dadakan dari salah satu temanku itu memunculkan pertanyaan baru untuk diriku sendiri, "memangnya harus seperti apa sih sampai bisa dipanggil seorang penulis?"
Bayanganku ketika masih kecil, menjadi orang dewasa tentunya lebih menyenangkan. Aku ingat membayangkan diriku yang sudah berusia 20an, sudah menikah, memiliki keluarga kecil, dan menjadi ibu yang bekerja. Realitanya? Sungguh tidak semudah itu.
Lulus kuliah, aku berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah agency kecil (setelah menunggu berbulan-bulan). Lalu pindah ke sebuah perusahaan keluarga dengan salary yang lebih besar dan benefit yang memadai. Namun pekerjaannya membosankan. Hingga akhirnya aku berdamai saja bahwa memang tidak ada pekerjaan yang sempurna. Bahkan kalau aku melakukan hal yang aku sukai sebagai sebuah pekerjaan pun, burn out akan tetap ada.
Lantas apakah aku masih menulis? Jawabannya, kadang-kadang. Lebih tepatnya, terkadang aku hanya menulis jurnal harian atau disaat aku merasa butuh menumpahkan sesuatu saja. Seperti saat ini. Aku bahkan tidak bisa mempublikasikannya atau mengatakan bahwa ini adalah sebuah karya. Bukan. Tulisanku lebih mengarah kepada keluhan, daripada sesuatu yang menginspirasi. Dan itu membuatku malu, karena aku kehilangan rasa terhadap tulisanku sendiri.
Pada akhirnya aku lelah, mencari konten tulisan. Pada akhirnya, aku hanya menulis sebagai hobi dan untuk terapi diri. Dan aku melakukan pekerjaan membosankan, sama seperti yang dilakukan budak korporat di Jakarta, kebanyakan. Because there's a bill to pay, they say. lalu aku hanya melakukan hal-hal realistis yang membuatku tetap hidup, walaupun seperti zombie.
Aku masih menulis, meskipun semuanya menumpuk pada folder laptop dan hanya menjadi draft saja.
Aku masih suka menulis, meskipun pada akhirnya aku mulai melepas mimpi masa kecilku untuk membuatnya menjadi profesional.
Kalaupun ini adalah mimpi yang tertunda, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memulai lagi dari awal di masa depan. Aku tidak tahu, apakah masih akan ada ruang untuk itu. Namun untuk saat ini, sepertinya memiliki pekerjaan yang membosankan terdengar lebih bagus ketimbang menjadi penulis tanpa gaji bulanan. Hehehe.
---
again, thank you to all of you who have been putting up with my writings nowadays.
it's been hard to tell but I think I'm just going on some quarter-life crisis like they say.
this is not something inspirational at all,
but I'm glad that I can be honest with you about my writing process.
to Joanne, a writer whom I always look up to, thank you.
for all the nicest things you said through our random conversation,
Comments
Post a Comment