tentang menerima dan merawat luka.

Oke, mulai dari mana yaaa ceritanya. Agak berat tulisan kali ini. Di satu sisi ku tak mau over-sharing, di satu sisi ku merasa hal-hal yang ingin ku sharing ini (mungkin) berfaedah. Tulisan gue di blog ini nggak selalu inspiratif dan positif layaknya motivator ya, karena saya bukan motivator. Tapi kalau ada yang baca blog ini, semoga tulisan gue ini somehow 'sampai' ke kalian. Buat yang udah mampir dan baca blog ini, terima kasih ya. I hope my writing speaks to you 💛

Photo by Volkan Olmez on Unsplash

Setiap memasuki bulan Desember, gue pasti jadi lebih melankolis dan terbawa perasaan sama banyak hal. Mungkin karena berasa udah mau natalan, mungkin juga karena ini holiday season, mungkin karena bulan terakhir sepanjang tahun, atau mungkin juga karena ini bulan ulang tahun gue (silakan yang mau kontribusi hadiah boleh banget, hehe), intinya gue merasa jadi lebih emosional aja. 

Gue yang biasanya suka ber-hustle, alias ngapa-ngapain harus gercep, di bulan ini gue menoleransi kalau diri gue pengen sedikit lebih santai (but isn't everyone also like this, no?). Perubahan yang paling jelas kalau udah masuk bulan Desember adalah, meskipun masih awal bulan, gue suka banget mulai self-reflection, alias refleksi diri dan flashback ke kejadian apa aja yang udah terjadi sepanjang tahun.

Nah, self-reflection itu yang sebenernya adalah moment of truth (caelah) gue dimana gue mengingat, menganalisa, dan bahkan menilai diri gue. Istilahnya kayak anak sekolah lagi bagi rapot gitu kali ya, gais. Ada beberapa faktor penilaian yang biasanya gue kasih ke diri gue:

1. Pencapaian

Photo by Carl Heyerdahl on Unsplash

Tentunya ini adalah hal-hal yang menjadi ambisi gue, bisa jadi semacam to-do list atau wishlist dari tahun-tahun sebelumnya yang belum tercoret. Misal, liburan ke negara X, berhasil masuk ke perusahaan X, involve in a bigger scale of project, etc, etc.

2. Pengembangan Karakter

Photo by Miquel Parera on Unsplash

Di bagian ini gue berefleksi apakah setiap tahun gue bukan cuma tambah tua tapi juga tambah dewasa? Apakah gue sudah jadi teman yang baik buat teman-teman gue? Apakah gue bijaksana dalam mengambil keputusan? Atau setidaknya, apakah Ruth yang tahun ini (at least) lebih baik dari Ruth di tahun sebelumnya?

3. Pengembangan Emosional

Biasanya, disini gue menilai diri gue dari perasaan atau sisi emosional gue, apakah gue masih suka gampang baperan sama perkataan orang lain, apakah gue masih suka gampang sensitif, apakah gue sudah belajar menerima apabila ada perkataan orang yang nggak enak ke gue, dsb, dsb.

Ya gue gatau ya kalau dari sisi psikologis atau penjelasan ilmiah apakah hal-hal yang gue kategorikan di atas benar atau tidak, tapi ini maksudnya buat gue mempermudah jalannya self-reflection gue aja, terutama kalau ini gue tulis di jurnal.

Nah, self-reflection ini kadang agak triggering dan membuat nggak nyaman juga pastinya. Karena rasanya kayak lo ngajak ngobrol diri lo sendiri, membuat dia membuka diri dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang mungkin menyakitkan atau memalukan. Jujur, rasanya seperti menelanjangi diri sendiri di hadapan diri sendiri. Gue bisa senang ketika mengingat sesuatu hal menyenangkan yang terjadi sama gue di tahun ini, tapi kemudian bisa juga hati terasa 'nyessss' ketika gue harus mengingat kejadian tidak mengenakkan yang terjadi sama gue.

Dari semuanya, part yang paling gue nggak suka adalah menerima.

Photo by KAL VISUALS on Unsplash

Entah itu kejadiannya ataupun reaksi kita, atau cara kita menyikapinya, semuanya udah berlalu dan nggak bisa diubah. Perlu dicatat bahwa yang bisa kita lakukan atas kejadian masa lalu adalah menerima. Terkadang, proses self-reflection ini kalau nggak hati-hati malah bisa jadi ajang melabeli diri sendiri. Misal, kita mengingat kejadian nggak enak, lalu menyesali bagaimana sikap kita saat itu, kemudian memberi label "aduh, gue bodoh bener sih, harusnya gue kan nggak boleh ngelakuin itu", tanpa sadar, kita baru saja menghakimi diri kita di masa lalu dan memberi dia label 'bodoh'. Karena dia di masa lalu juga adalah bagian dari diri kita yang sekarang, tentu saja itu bisa berimbas ke diri kita yang sekarang juga.

Sayangnya, yang seringkali gue lakukan adalah memberi label sama diri sendiri, yang ujung-ujungnya adalah jadi nggak bisa menerima.

Beberapa hari yang lalu gue ngobrol sama psikolog gue (iya, gue konseling ke psikolog. Kalau ada dari kalian yang juga suka konseling ke profesional, jangan malu atau takut ya. Let's normalize this). Gue cerita sama dia kalau perasaan gue sedang sering kacau balau kayak balon hijau abis meletus :)) gue cerita kalau gue kesulitan menerima kejadian yang sudah berlalu. Kira-kira, begini sepenggal percakapan gue dengan psikolog gue:

Psikolog (P): "setiap kali kamu keinget kejadian itu, perasaan dominan yang kamu rasain apa?"
Gue (G): "sedih, marah."
P: "terus apa yang kamu lakukan ketika kamu merasa kayak gitu?"
G: "ngga ngapa-ngapain, aku abaikan aja, cari kegiatan lain biar distract hati dan pikiran aja."
P: "kenapa kamu abaikan perasaan-perasaan itu?"
G: "ya karena males aja berurusan sama emosi-emosi negatif itu. saya sedih, tapi kalau menangis merasa buang-buang waktu. saya marah, tapi kalau saya luapkan amarah rasanya nggak sehat. Jadi saya biarin aja."

Nah, begitu ya gais kira-kira kalau konseling sama psikolog. Biasanya mereka lebih sering ngasih pertanyaan pancingan aja, jadi yang menjabarkan suasana hati dan permasalahannya itu kita. Kalau mereka psikolog beneran, nggak akan judgmental sama cerita kita, kok.

Oke balik lagi ke percakapan di atas. Setelah gue jawab demikian, psikolog gue bilang gini: "Ruth, yuk kita coba mulai dari tidak melabeli perasaan dengan kata positif atau negatif. Apapun yang kamu rasakan itu tetap perasaanmu dan semuanya valid. Nggak ada yang negatif, nggak ada yang positif. It's just feelings, and it's normal to feel feelings. Malah nggak sehat kalau kamu abaikan. Kalau kamu sedih dan perlu menangis, nangis aja. Gapapa, yang penting dia di acknowledge dulu, jangan diabaikan."

Begitulah kira-kira petuah dari psikolog gue. Sederhana banget ya pesannya, jadi ternyata gue hanya perlu menerima perasaan-perasaan tersebut ada di dalam diri gue tanpa memberi label apapun. Kesannya mudah tapi ngga semudah yang dikira juga, karena memberi ruang buat diri merasakan hal-hal yang nggak nyaman itu pasti membawa efek tertentu. Badan kita yang terbiasa menerima kenyamanan tertentu akan bereaksi ketika kenyamanan itu hilang. Wajar. Tubuh kita sungguh magical, gais. Apa yang kita rasakan, wajar banget kalau kadang efeknya bisa sampai ke fisik. Kalau kalian juga pernah begitu, normal. Tapi kalau nggak kunjung membaik (this is when you understand your limit), kamu harus aware untuk memeriksakan diri ke profesional ya. It's okay to seek for help.

Tahun ini, banyak hal yang bikin gue happy, banyak hal juga yang bikin gue sedih. Setidaknya, gue belajar bersedia menerima hal-hal yang nggak nyaman dulu deh, bukan cuma yang nyaman aja. Gue tau, bahwa ketimbang bersikap bijaksana layaknya orang dewasa semestinya, gue masih reckless dan kebanyakan egoisnya. Terkadang gue egois sama orang lain, kadang juga egois sama diri sendiri. Kadang gue bangga sama keputusan yang gue ambil, tapi kadang gue juga mikir, "aduh kenapa sih gue cepet banget mutusin sesuatu?", dan tentunya gue lebih banyak nggak wise-nya ketimbang wise untuk ukuran manusia seumur gue ini.

Menerima bahwa di umur berapa pun kita bakalan tetap melakukan kesalahan, itu juga diperlukan dan itu nggak apa-apa -- asal ya emang bukan sengaja bersikap dajjal aja ya gais :))

Tahun ini, gue merasa 'merelakan' banyak hal, and in between, gue juga merasa sudah 'merepotkan' banyak orang terdekat gue secara emosional. This year was mentally exhausting and draining for me. Buat orang-orang yang namanya nggak bisa gue sebutin satu-satu disini, makasih banyak udah selalu mencoba hadir buat gue mentally and emotionally, ya. Nggak ngerti gue tanpa kalian gue akan jadi apa dah. Untuk hal-hal yang gue relakan, ya mungkin karena bukan milik gue juga sejak awal (hahaha), jadi gapapa, I have faith that my God is working on my future.

Doc. Pinterest (500 Days of Summer, 2009)

Akhirnya, dibanding self-reflection, ada hal baru yang mau gue coba lakuin setiap kali memasuki bulan Desember (dan semoga kelanjutannya juga ya), yaitu menerima dan merawat luka, biar sembuh. It is so painful when we live in bitterness (trust me, I have seen someone live in bitterness for years). Sebisa mungkin, gue akan belajar menerima dulu bahwa luka itu ada dan gue akan merawatnya, biar pelan-pelan mengering, lalu sembuh.

Buat yang baca blog gue sampe bawah ini, asli kalian keren banget! Gue tahu ini bukan bacaan yang mudah dan panjang banget pula. Semoga teman-teman juga bisa menerima dan merawat luka masing-masing ya. The journey is not easy, but you can always reach out for help.

Semoga bulan Desembermu menyenangkan 😊💛

P.S.
For you, who had been my happiness for the past few months, thank you.
I wish it was a happy moment for you too.
Now I'm letting you go, because I know I have the power to do so.
To decide what's better and healthy for me, because I believe I can also create my own source of happiness.
I hope you find the peace and life you are looking for.

Comments

Popular Posts