yang tidak kubicarakan pada orang-orang, tentang kita.
Minggu ini terasa lebih panjang dari biasanya. Lelah, bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena kamu memenuhi otakku dengan semua kenangan yang menerjang tiba-tiba. Memasuki 4 minggu sejak kita berpisah, aku pikir aku sudah baik-baik saja, ternyata aku hanya tidak memproses dukaku dengan baik.
Selamanya tidak akan pernah kulihat kota Bandung dengan sama lagi, seisi jalanan kota dan setiap sudutnya adalah kita. Sekarang aku tidak bisa tidak memikirkan kota Bandung tanpa memikirkanmu. Rasanya ingin aku akhiri semua ini dan menghamburkan diriku padamu. Aku tidak tahu apakah itu berarti sama denganmu. Diam-diam aku berharap hanya aku yang ada di kepalamu ketika seseorang menyebut Jakarta di mukamu, atau kalau kamu menginjakkan kaki di sini.
Perpisahan kita tidak baik, semesta tahu itu. Tapi itu juga mungkin cara semesta untuk memberiku waktu, karena ia tahu aku akan selalu mencari cara untuk menghamburkan diri padamu, jadi kenapa tidak sekalian saja membuatnya buruk?
“Percuma saja aku jelaskan,” katamu di pesan terakhirmu yang sudah kuputuskan untuk tidak kujawab. Satu bulan sesudahnya, pesan itu menggantung begitu saja di chatroom kita yang belum rela aku akhiri. Tidak ada follow-up pesan ataupun pertanyaan kabar. Terkadang masih kuharap kau akan menghubungiku lagi — bahwa besok pagi ketika aku bangun, akan ada pesan darimu lagi — dan kita akan menemukan diri kita seperti dulu.
Tanganku gatal ingin mengetikkan pesan panjang berisi kata-kata yang tidak akan pernah bisa kusampaikan langsung padamu. Maka dari itu, alih-alih mengirimkannya, aku mencatatnya di kepalaku sendiri. Mungkin pada suatu titik tertentu aku harus belajar menerima, bahwa kamu hanyalah sebagian kecil yang ada di satu fase hidupku, dan fase itu tidak sampai pada hari ini.
Dua minggu pertama sejak kamu pergi tidaklah seberat yang kukira, aku sibuk menata apartemen baruku dan merayakan kepindahanku bersama keluarga dan teman-teman. Rasa sepi datang, tapi tidak menusuk. Aku merasa hebat, karena bisa mengingatmu sambil tersenyum dan melakukan aktivitasku seperti biasa.
Ternyata itu hanyalah puncak tertinggi dari rollercoaster yang akan kuhadapi selanjutnya. Memasuki minggu ketiga, aku menangis sejadi-jadinya. Aku rebahan di atas kasur sambil menatap langit-langit apartemenku yang kecil dengan nanar. Tidak ada yang bilang, tidak ada yang menjelaskan, kalau patah hati di usia berapapun tetap tidak menyenangkan.
Sebelah dariku ingin memaki, melontarkan benci hingga aku muak dengan semua memori kita, memori tentangmu. Ingin kukembalikan bon restoran, tiket nonton, dan tulisan-tulisan tanganmu yang kusimpan di dalam tas kerjaku. Namun sebelah dariku ingin datang, lari menghampirimu, memelukmu sekali lagi sampai gila.
Aku masih membenci fakta bahwa waktu adalah hal yang paling tidak bisa kau berikan di atas semuanya. Rasanya ingin kuputar waktu, ku obrak-abrik, hanya agar kamu mengerti apa yang aku rasakan. Bila kulihat Tuhan dalam doaku di pagi dan malam hari, rasanya ingin kutanya, “di semesta yang luas ini, kenapa harus dia? dan kenapa Kau tidak izinkan dia?”
Dalam doa-doa itu, aku memasrahkan diri--tapi tentu Tuhan tahu kalau aku tidak ingin orang lain.
Mungkinkah semesta hanya bermain-main dengan kita?
Mungkin, kalau saja kita tidak egois, bisa saling berkompromi, kita bisa jadi pasangan ideal versi kita.
Mungkin, aku masih memproses duka yang sampai entah kapan ini.
Sambil menatap langit-langit kamar, aku membayangkan, kitalah pasangan ideal itu. Di semesta yang lain, aku berharap kita bisa saling berkompromi, menjadi diri sendiri, tapi saling mencintai.
Dan mungkin, kita bisa kembali menemukan diri masing-masing.




Comments
Post a Comment